Manajemen Ekspektasi

dhynaindri
4 min readJun 28, 2023

--

(meme nemu di Twitter)

Permasalahan hidup yang satu ini memang susah-susah gampang untuk dijalani. Harus diakui, jam terbang menjadi acuan dalam manajemen ekspektasi ini. Menurutku, nggak mungkin tanpa pengalaman kita bisa mengendalikan ekspektasi dengan baik. Pengalaman buruk biasanya menjadikan kita lebih aware sama yang namanya ekspektasi.

Harapan yang kita buat sendiri, bagaimana pun harus kita terima realitanya. Nggak sedikit orang yang akhirnya menderita karena kalah sama harapan yang udah dibuat tinggi-tinggi. Pada akhirnya, udah nggak mau berharap lagi. Ya, itu pilihan, sih. Kita, kan, nggak tahu kapasitas hati orang lain dalam menerima sesuatu.

Banyak orang yang bilang, nggak usah berekspektasi tinggi terhadap sesuatu, dan jangan menaruh ekspektasi sama orang lain. Itu benar, sih, tapi aku nggak 100% setuju sama hal itu. Aku adalah tipikal manusia yang doyan banget berekspektasi, soalnya basic-nya, kan, imajinatif, he he. Aku paham rasanya dikecewakan oleh harapan yang kita buat sendiri, aku sering mengalami hal itu, kok. Tapi aku sadar betul, saat membuat harapan, aku juga harus menyiapkan hati untuk menerima segala risiko dari apa yang akan aku lakukan. Selalu terpatri dalam diri ini kalo segala sesuatu itu harus sepaket sama konsekuensinya. Apakah setelah itu jadi nggak sakit hati saat ekspektasi nggak sesuai realita? Oh, tentu, tidak! Sakit hati itu sudah pasti, namanya juga manusia biasa. Tapi sakit hatinya jadi bisa dikendalikan, sakit hati untuk diri sendiri. Itu artinya tanggung jawab sama ekspektasi yang kita buat, nggak harus menyalahkan orang lain. Istilahnya, siapa suruh. Ya, udah, nikmatin aja. Apakah setelah itu jadi nurunin ekspektasi? Tergantung! Terbentuk dari pengalaman, ada beberapa hal yang mesti diturunin ekspektasinya, tapi kebanyakan, sih, tetap berekspektasi tinggi, ya. Ha ha ha.

Ekspektasi itu sesuatu yang kita ciptakan di kepala kita sendiri tanpa orang lain tahu. Lalu, ketika ternyata ekspektasi itu nggak sesuai maunya kita, lantas orang lain yang nggak tahu apa-apa ini harus ikut tanggung jawab? Kan, nggak adil. Menurutku, itu karena kita nggak punya manajemen ekspektasi yang baik.

Selain sebagai pelaku, aku juga sering jadi korban ekspektasi orang lain. Mereka yang punya ekspektasi, malah aku yang harus tanggung jawab karena nggak sesuai sama ekspektasi yang udah mereka buat. Biasanya nggak jauh-jauh dari fisik dan tingkat keasyikan dalam berkomunikasi, ini berlaku bagi sobat-sobat virtual. Ketika bertemu langsung, eh, kok, beda sama yang di foto? Hei, halo, ada yang namanya teknologi kamera handphone, angle, dan filter. Kalo dibilang cantiknya karena filter, emang iya, bodo amat. Anda tidak tahu ada istilah “photogenic person”? Jangankan orang lain, aku aja suka sama foto-fotoku sendiri. Definisi narsistik sesungguhnya, ha ha ha. Itu baru soal wajah asli nggak secantik di foto, belum lagi keseluruhan fisik. Nggak tahu kenapa itu jadi masalah buat mereka, saat mereka tahu aku punya kekurangan dalam fisik. Contohnya, punya banyak bekas luka di tangan dan kaki, wajah yang berkomedo berjerawat berminyak dan ber-ber lainnya, dan kekurangan lainnya. Mohon maaf lahir batin, ini kita mau temenan atau mau prospek untuk jadi BA skincare?! Padahal aku sendiri nggak pernah mempermasalahkan fisik orang lain. Lalu, yang tak kalah kocak, ketika bertemu langsung, eh, kok, pas chatting-an seru tapi pas ketemu nggak seru, sih? Apa, sih, yang diharapkan dari pertemuan pertama? Langsung ha ha hi hi omaigat kita sefrekuensi banget, Coy! Gitu? Sorry, ya, aku nggak bisa gitu orangnya. Ada yang namanya fase penelitian pertemuan pertama. Kalo ternyata di pertemuan pertama itu komunikasi kita jauh berbeda dari virtual, ketahuilah, artinya kita ternyata nggak sefrekuensi itu alias jangan bilang aku nggak asyik, siapa tahu memang anda yang nggak asyik 😜😝. Kenapa langsung memutuskan kesimpulan di pertemuan pertama? Kenapa nggak coba pertemuan selanjutnya? Di pertemuan pertama itu anda masih belum mengenal saya, masa, langsung bikin asumsi kalo saya orangnya nggak asyik?!

Ada lagi, nih, aku sebagai korban ekspektasi orang lain. Ketika aku nggak bisa ngikutin maunya orang lain, langsung dikucilkan dari pergaulan, ha ha ha. Aku, sih, nggak peduli, ya. Mau temenan, ayo, kalo enggak, ya, udah. Selama aku merasa berada di jalur yang benar, sendiri pun tidak jadi masalah. Egois memang, tapi begitulah diriku.

Aku sebisa mungkin me-manage ekspektasiku dengan baik. Karena semua hanya ada di kepalaku sendiri, jadi harus aku sendiri jugalah yang bertanggung jawab atas itu. Dan aku nggak pernah melarang orang lain untuk berekspektasi setinggi apa pun juga, tapi aku selalu mengingatkan untuk jangan lupa menurunkan ego untuk menerima risikonya. Kalo belum siap sakit hati, jangan bikin ekspektasi.

Intinya, mau high expectation, mau low expectation, sama aja, yang penting bisa me-manage-nya. Harus tanggung jawab sama ekspektasi sendiri. Jangan menyalahkan orang lain, jangan suruh orang lain tanggung jawab sama ekspektasi yang kita bikin. Atur sendiri kapasitas diri dalam berekspektasi.

--

--

dhynaindri
dhynaindri

Written by dhynaindri

Nulis apa yang kepikiran aja alias random 👍

No responses yet